Setelah keluar dari ruang praktek dokter, saya mendapat secarik resep dan tanpa membuang waktu resep tersebut saya serahkan ke kasir apotik yang lokasinya masih seatap dengan tempat praktek dokter. Tidak terlalu lama, nama anak saya pun dipanggil. "Berapa?" Saya langsung kepada kasir. "Rp. 352.000", jawab kasir. Saya sedikit terhenyak, namun saya coba metutupi perasaan kaget tersebut. Baru saja Rp. 150.000 melayang dari dompet untuk membayar jasa konsultasi dokter anak. Jadi untuk mengatasi demam disertai mual anak saya, saya harus merogoh kocek Rp. 500.000. Setelah saya berpikir sejenak, saya putuskan tidak menebus resep di apotik tersebut, dengan alasan uang saya tidak cukup.
Kemudian saya coba telisik apa saja gerangan obat yang tertulis di resep tersebut, berikut daftar obatnya:
- Nifural sirup 1 botol
- Vometa sirup 1 botol
- Comsporin 15X @ 75mg ( karena sediaan terkecil adalah 100mg, maka dipecah menjadi lebih kecil) berarti kurang lebih berjumlah 11,5 kapsul
Kemudian saya mencari tahu harga obat tersebut di apotik online, dan mendapatkan harga harga kurang lebih sebagai berikut,Vomita Rp 42.000, Nifural Rp 42.000, Comspori 100mg @ Rp 20.000. Total jendral kurang lebih Rp 324.000. Obat yang ditulis di resep ternyata obat obat paten yang harganya lumayan mahal.
Berdasarkan informasi harga yang diperoleh dari apotik online, saya dapat menyimpulkan bahwa apotik tempat di mana dokter spesialis anak langganan saya berpraktek memberikan harga yang lebih mahal. Kemudian saya coba bandingkan dengan apotik lainnya, setelah saya sambangi beberapa apotik terdapat beberapa harga sbb:, Rp 320.000, Rp 365.000, Rp 345.000. Dari hasil perbandingan tersebut kita dapat menilai bahwa harga antara apotik yang satu dengan yang lainnya tidak sama, dan cenderung ada apotik yang memasang harga obat terlalu tinggi dan ada juga yang moderat, dan ada yang relatif murah.
Langkah berikutnya adalah saya bertanya kepada apotekernya, apakah ada obat generik yang dapat menggantikan obat obat paten tersebut, dan ternyata ada. Mari kita bahas bersama:
Nifural sirup adalah sejenis obat diperuntukan untuk gejala diare akut. Obat ini termasuk obat keras. Di beberapa negara obat ini bahkan sudah tidak dipergunakan lagi. Obat ini dapat digantikan dengan obat anti diare yang lebih soft dan lebih terjangkau harganya. Karena anak saya belum berak berak dan mencret, maka saya putuskan menunda membeli obat ini. Dokter anak mengatakan bahwa biasanya setelah muntah disusul mencret. Tapi sampai anak saya senbuh ternyata anak saya tidak mencret. Berarti dengan menunda membeli obat ini saya sudah berhemat Rp 40 ribuan.
Vomitas, adalah obat untuk menekan rasa mual dan muntah. Zat aktifnya adalah Domperidone yaitu merupakan dopamin blocker di perifer yang cukup kuat untuk menekan mual. Pengganti Vomitas salah satunya adalah Costil Sirup 5mg dengan harga kurang lebih Rp 25.000.
Dan, yang terakhir adalah antibiotik Comsporin yang berbentuk kapsul. Comsporin adalah golongan antibiotik generasi ketiga yang memiliki zat aktif Cefixime. Cefixime adalah sefalosforin semi-sintetik generasi ketiga yang dapat diberikan secara oral. Selain cefixime, keluarga sefalosporin lain diantaranya sefaleksin, cefaclor, cefuroxime, cefpodoxime, cefprozil dan lain-lain. Mekanisme kerja sefalosporin yaitu dengan cara menghambat sintesa dinding sel bakteri, sehingga tanpa dinding sel, bakteri akan mati. Cefixime tahan terhadap hidrolisa berbagai macam enzim betalaktamase yang dihasilkan bakteri. Beberapa bakteri yang peka terhadap cefixime yaitu Staphylococcus aureus , Streptococcus pneumoniae , Streptococcus pyogenes (penyebab radang tenggorokan ), Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, E. coli , Klebsiella , Proteus mirabilis, Salmonella , Shigella , dan Neisseria gonorrhoeae.
Cefixime diperdagangkan dengan merk dagang sbb:
Anfix (Mahakam BF), Cefarox (Gracia Ph), Cefila (Lapi), Cefspan (Kalbe Farma), Ceptik (Interbat), Comsporin (Combiphar), Ethifix (Ethica), Fixacep (Fahrenheit), Fixam (Solas), Fixef (Kalbe Farma), Fixiphar (Pharos), Lanfix (Landson), Nucef (Guardian Ph), Simcef (Erlimpex), Sofix (Soho), Spaxim (Sandoz), Sporetik (Sanbe Farma), Starcef (Dexa Medica), Taxime (Hexpharm), Tocef (Bernofarm), Trixim (Ferron), Urticef (Prafa/UAP).
Dan, ternyata harga cefixime generik jauh lebih murah, hanya 1/10-nya saja dari harga obat paten. Perbandingannya bagaikan bumi dan langit. Sebagai contoh Cefixime 100 DEXA, harganya hanya berkisar Rp 2.500 per kapsul. Dengan mengganti Comsporin dengan Cefixime generik berarti kita telah menghemat sampai kurang lebih 80% dari pengeluaran yang seharusnya. Atau hanya cukup mengeluarkan uang Rp 30.000 untuk menebus 15 x @75mg.
Khasiat Obat Generik dapatkah dipercaya?
Lantas kita akan bertanya selisih harga yang begitu besar antara obat generik dan obat paten apakah mempunyai korelasi dengan khasiat atau kemampuan yang menyembuhkan. Apakah khasiatnya berbanding lurus dengan perbandingan harga? Artinya apabila obat generik harganya hanya 1/10 dari harga obat paten, apakah obat generik hanya mampu menyembuhkan 1/10 dari obat paten? Pertanyaan ini menjadi sangat krusial dan yang bisa menjawab dengan jujur hanyalah para pakar yang berkecimpung di industri farmasi. Tapi bila kita menyimak penjelasan dari badan POM maka kekhawatiran ketidakampuhan obat generik jika dibandingkan dengan obat paten sangatlah tidak beralasan. Karena obat generik pun proses pembuatannya harus memenuhi standar pembuatan obat internasional. Artinya, obat generik sangat bisa dipertanggungjawabkan khasiat dan kegunaannya. Mungkin tidak dapat dipungkiri bahwa bahan baku obat generik dengan bahan baku obat paten memiliki perbedaan. Ini dapat kita ibaratkan jika kita ingin membuat kue maka kita akan menghadapi pilihan untuk memilih jenis margarinnya merk apa, tepung terigunya merk apa, kejunya merk apa, minyak sayurnya merk apa, tapi pada akhirnya bila pembuatan kue itu dilaksanakan dengan benar dan hiegienis maka dapat tercipta kue yang sehat dan enak, walaupun tidak seenak kue dengan bahan bahan super. Atau mungkin jika saya boleh berasumsi, obat paten dan obat generik memang memiliki perbedaan, tetapi perbedaan itu tidaklah sampai tidak menyembuhkan, hanya sebatas kecepatan waktu sembuh saja. Misalnya jika memakai obat paten, pasien dapat sembuh dalam waktu 5 hari, namun jika memakai obat generik sembuhnya butuh 6 hari. Tapi, sekali lagi ini adalah hanya asumsi saya saja. Menurut hemat saya, ini adalah tantangan bagi para apoteker, dokter dan semua instansi yang terkait untuk menguji sejauh mana perbedaan kemampuan menyembuhkan antara obat generik dan obat paten. Sebab perbedaan harga yang sedemikian tinggi, menimbulkan tanda tanya besar yang mengarah kepada pendiskriditan obat obat generik. Memang kemasan yg menarik, promosi, iklan, marketing dari obat paten memerlukan biaya yang tidak sedikit, tapi apakah harus setinggi itu.
Kita saat ini dihadapkan kepada pilihan pilihan yang sulit baik dari segi ekonomi maupun kesehatan. Seakan akan terdapat kesan untuk bisa sehat itu harus mahal. Yang murah itu tidak bisa atau tidak menjanjikan bisa sehat. Pemerintah kita masih memposisikan diri pada wilayah abu abu, khususnya dalam menghadapi persoalan kesehatan masyarakat secara umum. Khusus untuk program jamkesnas/da pemerintah telah mensyaratkan pemakaian obat generik jjika obat generik itu tersedia. Namun jika kita berhitung, berapa banyak sih yang tercover oleh jamkes, jauh lebih banyak masyarakat yang tidak punya akses terhadap jamkes karena kondisi sosial ekonominya hanya terpisahkan 1mm dari garis batas ketentuan atau persyaratan jamkes yang ditetapkan pemerintah.
Kembali ke topik awal. Yang ingin saya share pada tulisan ini adalah bagaimana kita menyikapi mahalnya biaya berobat sementara kemampuan finansial kita sangat terbatas. Berikut beberapa langkah yang harus kita lakukan:
- Tindakan yang paling awal adalah pada saat dokter akan menulis resep, mintalah diresepkan obat generik.
- Bila telah menerima resep, jangan terburu buru untuk menebus obat yang diresepkan di apotik tempat dokter tersebut berpraktek. Bila memungkinkan tanyalah dulu kepada beberapa apotik terdekat. Pilihlah apotik yang memiliki reputasi baik dan memberikan harga yang relatif lebih rendah.
- Periksa apakah ada daftar obat yang ternyata kita telah memilikinya di rumah, seperti parasetamol atau ibuprofen yang biasanya selalu tersedia di rumah. Ada beberapa dokter yang biasanya bertanya terlebih dahulu bila ingin meresepkan penurun panas dan vitamin. Bila sudah ada di rumah ia tidak akan menuliskannya lagi, ia hanya mengatakan bahwa tolong obat tersebut diminumkan jika panas tinggi dengan dosis sekian. Tapi ada juga dokter yang langsung menuliskannya tanpa bertanya kepada kita terlebih dahulu.
- Periksa apakah ada obat yang sifatnya jaga jaga saja. Misalnya dokter akan mengatakan obat x ini diminumkan jika mencret. Berarti bila tidak mencret tidak perlu diminumkan. Pada saat kondisi keuangan yang terbatas, kita dapat menunda membeli obat yang sifatnya hanya berjaga jaga. Kecuali jika kita tinggal di pedalaman yang tidak ada apotik 24 jam-nya, mungkin kita perlu untuk tetap menebusnya.
- Tanyalah apakah ada obat generiknya untuk obat paten yang diresepkan tersebut. Nah ini akan menjadi sedikit kendala, bila kita menanyakannya ke apotik yang seatap dengan tempat dokter praktek, karena biasanya ada sedikit kepentingan yang terganggu. Tidak bermaskud menuduh, kadangkala ada kesepakatan antara dokter dan apotik, di mana dokter akan mendapatkan prosentase dari obat yang diresepkannya. Oleh karena itu jika kita ingin mengganti dengan obat generik lebih baik tanya tanyanya ke apotik di luar saja.
- Mintalah selalu copy resep. Kliping resep resep tersebut. Hal ini perlu untuk mengetahui riwayat pemberian obat terhadap si pasien dan untuk berjaga jaga bila terdapat kelalaian dalam pemberian obat.
Untuk kasus yang saya alami seperti yang diceritakan di awal tulisan, saya bisa menghemat sampai Rp 300.000 karena saya akhirnya memutuskan untuk menebus obat generik cefixime dan domperidone. Alhamdulillah anak saya sembuh juga, walaupun obat yang diminum adalah obat generik. OK, semoga sharing saya bermanfaat bagi anda semua.