Jumat, 09 Desember 2011

Flek Paru, TBC atau Jantung Bocor

Anak Balita, FLEK, TBC, Minum Obat 6 Bulan. Rasanya sudah terlalu sering kita mendengarnya. Anak sekecil itu harus minum obat 6 bulan, terasa sedih dan miris kita mendengarnya. Dengan segala bujuk rayu orang tua memastikan buah hatinya meminum obat tanpa terlewat. Bila terlewat mau tidak mau harus mulai dari nol lagi. Flek, flek, dan flek, yang ada di paru paru  itulah yang menyebabkan semua keprihatinan orang tua berawal. Hal tersebut terlihat setelah anak menjalani hasil pemeriksaan rontgen atau sinar x. Dokter akan mengatakan, anak ibu ada flek di parunya. Lalu dokter akan melakukan test mantoux, lalu dokter akan mengatakan anak anda postitif TBC. Dan, bersiaplah menjadi watch dog terhadap anak anda selama setengah tahun untuk memastikan terapi TBC berjalan dengan mulus tanpa alasan lalai ataupun lupa.

Sebelum dibawa ke dokter, biasanya orang tua mengeluhkan kondisi anak sbb:

  • Pertumbuhan anak lambat.
  • Nafsu makan anak tidak ada (anorexia).
  • Anak terlihat kurus, lemah, loyo, tidak semangat, murung.
  • Anak sering batuk, pilek, demam, dengan sebab yang tidak jelas.
  • Rewel pada malam hari, tidur tidak nyenyak.

Di masyarakat telah beredar kepercayaan bahwa bila terdapat gejala gejala tersebut maka anak terkena TBC, dan dokter pun terkadang lalai untuk mendiagnosisnya secara mendalam benar tidaknya anak menderita TBC. Sebagai langkah awal dokter akan menyarankan untuk merontgen paru paru anak  Hasil rontgen sedikit banyak memberi gambaran apakah memang ada masalah pada paru paru anak. Bila hasil rontgen menunjukkan adanya flek, dokter yang bijak tidak akan serta merta memvonis anak menderita TBC. Dokter biasanya akan melakukan pengetesan berikutnya, yaitu dengan tes Mantoux.  Tes mantoux bertujuan  untuk mendeteksi/mengetahui adanya infeksi kuman Tuberkulosis (TBC). Tes ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas di atas 90 %. Tes mantoux dilakukan dengan cara menyuntikkan tuberkulin  ke dalam lapisan kulit lengan bawah seseorang. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikkan. Protein tadi (tuberkulin) bila disuntikkan ke dalam lapisan kulit seseorang yang telah terinfeksi TBC akan menimbulkan reaksi di kulit tersebut berupa bentol kemerahan (indurasi) setelah 48-72 jam kemudian. Test ini pun harus dilakukan dengan teliti, bila hasilnya masih meragukan, harus diulang dua minggu kemudian. Untuk lebih yakin lagi biasanya akan dilakukan pengujian dahak di lab. Tapi ketelitian ini (test yang berulang dan pemeriksaan lab) akan menimbulkan dampak biaya bagi pasien. Dan, yang menyedihkan dokter spesialis anak pun terkadang terkecoh oleh hasil rontgen dan hasil test mantoux ini. Anak yang sebenarnya negatif TBC diberi terapi pengobatan selama 6 bulan. Alhasil penyakit yang sesungguhnya diderita anak tidak terdeteksi dan tidak tersembuhkan, padahal pasien telah mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit, belum lagi rasa cemas dan khawatir orang tua selama anak dalam masa pengobatan.


Berikut adalah  Pedoman Nasional Tuberkulosis (2002), gejala yang umum TB pada anak-anak adalah sebagai berikut :

  • Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun  sudah dengan penanganan gizi yang baik.
  • Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
  • Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas,  setelah disingkirkan kemungkinan penyebab lainnya (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut). Dapat juga disertai keringat malam.
  • Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak sakit, di leher, ketiak dan lipatan paha.
  • Gejala –gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), nyeri dada ketika bernafas atau batuk.

Juga perlu dicermati apakah anak kita telah kontak dengan penderita tbc dengan inbtensitas cukup lama. Bila memiliki pengasuh atau pembantu, pastikan mereka tidak mengidap TBC.

Bila tidak puas dengan diagnosa dokter, ada baiknya meminta pendapat dari dokter anak yang lain (second opinion).

Contoh kasus salah vonis TBC (ini kisah nyata):.

Sebelum kisah ini saya ceritakan, saya pernah beberapa kali membaca keluhan entah surat pembaca, diskusi di grup, milis dan media lainnya yang mengungkapkan dokter telah salah mendiagnosis dan memvonis anak mengidap TBC, padahal setelah terapi selama 6 bulan selesai ternyata tidak ada perubahan terhadap gejala gejala yang dikeluhkan di awal pemeriksaan.

Dan, kebetulan kira kira 2 minggu yang lalu ketika saya ngobrol dengan tukang somai di depan tempat les anak saya terungkaplah kisah nyata betapa seorang dokter spesialis anak pun dapat terkecoh dan gegabah memvonis anak TBC, padahal ternyata tidak.

Berawal dari obrolan ringan, betapa mahal biaya hidup saat ini, dan juga betapa mahalnya biaya pergi ke doketr spesialis anak, tercetuslah bahwa ia (si tukang somai) mempunyai anak yang berusia kurang lebih 2 tahun baru saja dioperasi jantung di Yayasan Jantung Anak Indonesia. Dan semua biaya ditanggung oleh Yayasan tersebut.

Ia bertutur pada awalnya anaknya itu sering sakit, rewel, cengeng, tidak bisa tidur nyenyak, tidak memiliki nafsu makan. Ia membawa anaknya ke dokter spesialis anak di klinik di daerah bekasi. Singkat kata setelah dirontgen dan dicek ini itu, divonislah bahwa anaknya menderita TBC dan harus minum obat selama 6 bulan. Tapi ternyata setelah beberapa bulan pengobatan tidak terjadi perubahan sama sekali atas kondisi anaknya itu. Pada saat ia ingin kontrol, pihak klinik menyatakan bahwa dokter x yang biasa menangani anaknya lagi off dan ditawari dokter spesialis anak yang lain (pengganti), ia pun menyetujuinya. Dan, ternyata melalui tangan dokter pengganti itulah ia diberikan jalan yang lebih baik. Setelah mendengar dan melihat riwayat pengobatan yang sedang dijalani, dokter melakukan pengecekan standar dengan stetoskop dan sang dokter menemukan keanehan bunyi ritme jantung si anak. Meninadaklanjuti keanehan tersebut dokter melakukan echo jantung, dan hasilnya terdeteksi adanya kelainan jantung. Dokter spesial anak kemudian berkonsultasi dengan  dokter jantung dan kesimpulannya jantung anak harus segera dioperasi karena ternyata terdapat kebocoran jantung yang mengakibatkan darah kotor tembus ke paru paru.

Singkat cerita setelah berjuang kesana kemari selama 6 bulan untuk mencari biaya operasi anaknya (kabupaten bekasi tidak bisa membiayai karena terbatas oleh limit jamkesda kabupaten yang rendah, oleh karena itu harus dirujuk ke RS Hasan Sadikin Bandung) dan berkat surat dinas atau memo dari kepala dinas kesehatan pemda bekasi yang ditujukan ke Yayasan Jantung Anak Indonesia, anak tersebut berhasil dioperasi selama kurang lebih 3 jam. Dan saat ini kondisi anaknya sudah menunjukkan kondisi yan g 180 derajat berbeda dengan  sebelumn dioperasi. Menurut sang ayah, anak kesayangannya saat ini tidurnya nyenyak, ceria, tidak rewel dan nafsu makannya meningkat drastis. Saya ikut senang mendengarnya.

Dan, gara gara saya mau mendengarkan cerita yang mengharukan itu, si abang somai selalu memberi bonus 1 potong ketika saya membeli somainya yang rasanya sangat enak untuk ukuran Rp 1000 per potong. Pokoknya maknyus, rasa ikannya terasa, bumbunya gurih dan matang. Dijamin, tidak kalah dari pada somai di FO Grande jalan Dago di Bandung yang secuilnya 4 rebu perak. Kalau tidak percaya silakan coba, adanya di depan ILP kali malang yang gabung sama sekolah TK Embun Pagi,, jualannya pakai motor honda wins, persis di samping warung rokok. Jualannya siang sampai sore hari. Somainya buatan sendiri. Tadinya saya ragu mau coba, tapi karena banyak juga yang beli, saya ikut coba, eh malah ketagihan.


Kesimpulan:

Melalui tulisan ini, tanpa bermaksud mengecilkan peranan dokter dan juga tanpa bermaksud mempersalahkan dokter, saya berharap baik dokter sebagai penyedia jasa layanan medis maupun kita sebagai pengguna layanan dapat bersikap bijak menyikapi setiap permasalahan kesehatan yang ada. Dokter dituntut untuk terus mengembangkan dirinya tanpa henti, senantiasa melakukan komunikasi dengan kolega sesama dokter apabila menemukan suatu kondisi yang memang semestinya didiskusikan untuk mempertajam diagnosis dan menghindari kesalahan tindakan pengobatan yang dapat merugikan berbagai pihak, khususnya pasien. Seorang dokter tidak perlu merasa gengsi atau takut dinilai tidak kompeten apabila ia membuka ruang diskusi dengan sesama kolega, karena kepentingan, kesembuhan pasien adalah di atas segala-galanya.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar